banner banner banner
Yang Terlarang
Yang Terlarang
Оценить:
 Рейтинг: 0

Yang Terlarang


Seorang shaman wanita di wilayah setempat, yang sebenarnya adalah bibi Tuan Lee sendiri, masih belum yakin penyebabnya. Akan tetapi, dia berjanji akan mencari tahu dalam waktu sekitar dua puluh empat jam, jika Tuan Lee meninggalkan beberapa sampel untuk dia pelajari dan kembali lagi ketika dia memanggilnya. Shaman itu memberi Tuan Lee segumpal lumut dan batu.

Tuan Lee tahu apa yang harus dilakukan karena dia pernah melakukannya sebelumnya. Jadi dia mengencingi lumut itu lalu meludah di batu itu setelah berusaha memancing keluar ludahnya sampai banyak. Tuan Lee dengan sungguh-sungguh mengembalikan benda itu ke shaman. Dengan sangat hati-hati agar tangannya tidak menyentuh benda itu, shaman itu membungkusnya secara terpisah dalam potongan-potongan daun pisang agar kelembapannya terjaga selama mungkin.

“Beri waktu satu hari agar benda itu membusuk lalu mengering, setelah itu, aku akan melihat dengan seksama apa yang terjadi denganmu.”

“Terima kasih, Bibi Da, maksudku, Shaman Da. Aku akan menunggu kabar darimu dan segera datang saat kau memanggilku.”

“Tunggulah di sana, anakku, aku belum selesai denganmu.”

Shaman Da mengulurkan tangan ke arah belakang lalu mengambil kendi gerabah dari rak. Dia membuka tutupnya, mengambil dua suap, lalu terakhir meludahkannya ke Kakek Lee. Saat Bibi Da mengucapkan doa kepada dewanya, Tuan Lee berpikir mungkin wanita itu telah lupa soal ‘higinitas’ ‒ dia benci diludahi siapa pun, terutama oleh wanita tua dengan giginya yang busuk.

“Semburan alkohol dan doa itu akan melindungimu sampai kita dapat menelaah apa yang terjadi padamu dengan benar.” dia meyakinkannya.

Shaman Da berdiri dari posisi duduk bersila di tanah di tempat naungan spiritualnya, merangkul bahu keponakannya, lalu berjalan bersamanya ke luar sambil melinting rokok.

Begitu keluar, dia menyalakan rokoknya, mengisap dalam-dalam lalu merasakan asap memenuhi paru-parunya.

“Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu tersayang?”

“Oh, mereka baik, Bibi Da, hanya sedikit khawatir dengan kesehatanku. Sekarang, aku merasa agak cemas untuk sementara waktu dan aku tidak pernah sakit seumur hidup, seperti yang kau tahu.”

“Iya. Kita keluarga Lee memang sangat kuat. Ayahmu, maksudku kakakku, pasti masih sehat sekarang jika tidak mati karena flu. Dia kuat seperti kerbau. Kau mengikuti jejaknya, tapi dia tidak pernah tertembak. Menurutku, itulah yang telah membelenggumu, peluru Yankee itu.”

Tuan Lee pernah mengalami ini berratus-ratus kali sebelumnya, tetapi dia tidak pernah bisa menang dalam berdebat. Jadi, dia hanya mengangguk, menyerahkan uang lima puluh baht pada bibinya dan lalu pulang ke rumahnya, yang hanya beberapa ratus meter di luar desa.

Dia sudah merasa baikan, sehingga dia berjalan riang untuk membuktikan itu pada semua orang.

Kakek Lee percaya sepenuhnya pada bibi tua Da, sama seperti orang lain di lingkungannya, yang mana terdiri dari dusun-dusun dengan lima ratus rumah dan beberapa lusin peternakan kurang lebih. Bibinya, Shaman Da, telah mengambil alih peran sebagai shaman desa ketika masih kecil, dan tidak lebih dari selusin, orang yang bisa mengingat shaman sebelumnya. Mereka tidak pernah memiliki dokter medis lulusan universitas.

Bukan berarti bahwa penduduk desa tidak memiliki akses ke dokter, melainkan jumlah dokterlah yang sedikit dan lokasinya pun jauh‒dokter permanen terdekat berada ‘di kota’, tujuh puluh lima kilometer jauhnya dan tidak ada bus, taksi, atau kereta api di pegunungan tempat tinggal mereka, yaitu di pojok timur laut paling atas Thailand. Selain itu, biaya dokter mahal dan obat yang diresepkan pun mahal, bahkan bagi orang-orang yang memiliki penghasilan tinggi. Ada pula sebuah klinik yang jaraknya beberapa desa jauhnya, tetapi dikelola oleh perawat penuh waktu dan seorang dokter keliling paruh waktu yang hanya bekerja di sana satu hari dalam dua minggu.

Penduduk desa seperti Tuan Lee berpikir bahwa mereka yang merupakan penduduk kota yang kaya mungkin baik-baik saja, tetapi tidak bagi penduduk desa. Bagaimana mungkin seorang petani meliburkan diri satu hari lalu menyewa seseorang beserta mobil untuk melakukan hal yang sama dan pergi mengunjungi dokter di kota? Jikalau ada seseorang yang memiliki mobil, dia adalah pemilik mobil traktor tua yang ada dalam radius sepuluh kilometer.

Tidak, pikirnya. Bibinya yang sudah sangat tua cukup baik untuk semua orang dan bibinya itu cukup baik untuk Tuan Lee. Selain itu, bibinya tidak akan membiarkan siapa pun mati bila belum waktunya dan dia jelas tidak pernah membunuh siapa pun. Semua orang bisa bersumpah untuk itu. Semua orang.

Tuan Lee sangat bangga dengan bibinya, dan bagaimanapun, tidak ada sanak saudara bermil-mil jauhnya dan tentu saja tidak ada seorang pun yang berpengalaman seperti bibinya ‒ semua…? Ya, tidak ada yang tahu berapa usia Bibi Da sebenarnya, bahkan dirinya sendiri, tetapi mungkin sekitar sembilan puluh tahun.

Tuan Lee sampai di depan halamannya dengan gagasan-gagasan itu dalam benaknya. Dia ingin mendiskusikan hal itu dengan istrinya karena meskipun dari luar dia adalah kepala keluarga, sama seperti keluarga lainnya, itu hanyalah formalitas. Pada kenyataannya, setiap keputusan dibuat bersama-sama atau setidaknya bagi semua para orang dewasa.

Ini akan menjadi hari yang penting karena keluarga Lee tidak pernah mengalami ‘krisis’ sebelumnya dan kedua anak mereka, yang juga bukan anak-anak lagi, harus diizinkan untuk angkat bicara juga. Sejarah akan dibuat dan Tuan Lee sadar akan hal itu.

“Mud!” teriaknya. Itu adalah panggilan sayang untuk istrinya sejak anak sulung mereka tidak bisa mengatakan ‘Ibu’.

“Mud, apa kau di rumah?”

“Iya, aku baru kembali.”

Lee menunggu beberapa saat sampai dia masuk. Di dalam ruangan terasa panas dan pengap, jadi dia pergi ke halaman depan dan duduk di balai-balai keluarga mereka yang besar. Balai-balai itu adalah tempat seluruh keluarga makan bersama dan mereka tidak akan duduk di sana jika mereka tidak punya waktu luang.

Nama asli Nyonya Lee adalah Wan, meskipun suaminya dengan sayang memanggilnya ‘Mud’ karena anak tertua mereka memanggilnya begitu sebab dia belum bisa mengatakan ‘ibu’ saat itu. Nama itu melekat pada Tuan Lee tetapi tidak dengan salah satu dari anak-anak mereka. Nyonya Lee berasal dari desa Baan Noi, seperti halnya Tuan Lee sendiri, tetapi keluarga Nyonya Lee tidak tahu bahwa keluarga Tuan Lee datang dari China dua generasi sebelumnya, meskipun kota asalnya juga tidak jauh.

Dia sama seperti perempuan-perempuan di daerah itu. Di masa mudanya, dia adalah seorang gadis yang sangat cantik, tetapi pada saat itu para gadis tidak diberi banyak kesempatan dan juga tidak didorong untuk menjadi ambisius. Bukan berarti hal itu telah banyak berubah di jaman putrinya meski sudah dua puluh tahun kemudian. Dulu, Nyonya Lee berniat mencari seorang suami setelah putus sekolah, jadi ketika Heng Lee melamarnya dan menunjukkan kepada orangtuanya uang kompensasi yang dia miliki di bank, Nyonya Lee berpikir laki-laki itu merupakan tangkapan yang bagus seperti laki-laki lain di daerah itu yang mungkin ingin didapatkannya. Dia juga tidak berkeinginan untuk pergi dari teman dan kerabatnya ke kota besar untuk memperluas wawasannya.

Dia bahkan mulai mencintai Heng Lee dengan caranya sendiri, meskipun gairah itu telah lama padam dalam kehidupan cintanya yang singkat dan sekarang dia lebih menjadi mitra bisnis daripada seorang istri di perusahaan keluarga yang didedikasikan untuk kelangsungan hidup mereka bersama.

Wan tidak pernah mencari kekasih, meskipun dia telah dilamar baik sebelum dan sesudah pernikahannya. Pada saat itu, dia sangat marah, tetapi sekarang dia bisa mengingat kembali momen-momen itu dengan hati yang lunak. Lee adalah yang cinta pertama dan satu-satunya bagi Wan, dan sekarang pastilah akan menjadi yang terakhir, tetapi dia tidak menyesalinya.

Satu-satunya mimpi Wan adalah melihat dan merawat cucu-cucunya, yang pada waktunya nanti pasti juga dikehendaki oleh anak-anaknya. Walaupun anak-anaknya tidak ingin, terutama putrinya, untuk terburu-buru menikah seperti ibunya. Wan tahu bahwa anak-anaknya juga akan memiliki anak nantinya, dia sangat yakin kalau mereka mampu. Sebab, itulah satu-satunya cara untuk memberikan jaminan finansial bagi diri mereka sendiri di masa tua dan berkesempatan untuk meningkatkan status keluarga.

Nyonya Lee peduli akan keluarga, status, dan kehormatannya, tetapi dia tidak menginginkan materi lebih dari yang telah dia miliki. Dia telah belajar untuk hidup sederhana begitu lama sehingga tidak menjadi masalah lagi baginya.

Dia sudah memiliki ponsel dan televisi, tetapi sinyalnya sangat buruk. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu pemerintah lokal berkeliling meningkatkan pemancar sinyal, yang pasti akan terjadi suatu hari nanti, jika tidak dalam waktu dekat. Dia tidak menginginkan mobil karena dia tidak ingin pergi ke mana pun dan selain itu jalanannya juga tidak begitu bagus.

Namun, bukan hanya itu, orang-orang seusianya dan yang ada di daerahnya beranggapan bahwa mobil sangat tidak terjangkau sehingga mereka tidak lagi menginginkan itu selama beberapa dekade yang lalu. Dengan kata lain, dia puas dengan sepeda dan motor tua yang menjadi armada angkutan keluarga.

Nyonya Lee juga tidak menginginkan emas atau pakaian mewah lagi karena kenyataan membesarkan dua anak dengan penghasilan seorang petani juga telah meruntuhkan keinginannya itu bertahun-tahun yang lalu. Terlepas dari semua itu, Nyonya Lee adalah seorang perempuan yang bahagia yang mencintai keluarganya dan pasrah untuk tinggal apa adanya dan tempat dia berada, sampai Buddha memanggilnya untuk berpulang suatu hari nanti.

Tuan Lee memperhatikan istrinya berjalan ke arahnya sambil menyesuaikan sesuatu di bawah sarungnya, yang mana dari luar terasa ada yang mengganjal, pikirnya, tetapi tidak pernah ingin tahu. Dia duduk di sudut balai-balai dan mengangkat lututnya agar bisa duduk sambal memeluk lututnya.

“Oke, apa yang nenek tua itu katakan?”

“Oh, ayolah, Mud, dia tidak seburuk itu! Baiklah, kau dan Bibi Da memang tidak cocok, tetapi terkadang itu wajar terjadi, bukan? Tetapi dia tidak pernah berbicara sepatah kata pun tentangmu. Baru tiga puluh menit yang lalu dia menanyakan kesehatanmu … dan anak-anak.”

“Terkadang kau juga bisa menjadi begitu bodoh, Heng. Bibi Da berbicara baik tentang aku atau di depanku hanya saat ada orang-orang yang mendengarkan di sekitarnya, tetapi setiap kali hanya ada kami berdua, dia memperlakukanku seperti kotoran dan dia selalu seperti itu. Dia membenciku, tetapi dia terlalu licik menyembunyikan itu darimu karena dia tahu kau akan memihakku, bukan dia. Para pria berpikir bahwa dirinya sangat bijak tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di bawah hidungnya sendiri. Dia telah menuduhku melakukan segala macam hal selama bertahun-tahun dan berkali-kali juga … seperti tidak menjaga kebersihan rumah, tidak memandikan anak-anak, dan bahkan dia pernah bilang kalau makananku berbau seperti ada kotoran kambing sebagai penyedap rasa! Cih, itu pun belum setengahnya. Toh kau tidak mempercayaiku, kan, istrimu sendiri? Ya, kau bisa tersenyum, tetapi tidak lucu bagi diriku yang selama tiga puluh tahun terakhir ini mengalaminya, biar kuberi tahu kau. Omong-omong, apa yang dia katakan?”

“Tidak ada, sungguh, hanya pemeriksaan, seperti rutinitas lama yang sama. Kau tahulah, kencing di lumut, meludahi batu lalu membiarkan dia menyemburku dengan alkohol dari mulut tua bergigi itu. Aku ngeri memikirkannya. Dia bilang akan memberitahuku besok saat hasilnya sudah bisa dibaca. Di mana anak-anak? Bukankah seharusnya mereka di sini untuk ikut serta dalam diskusi keluarga ini?”

“Menurutku tidak, tidak juga. Lagi pula, kita belum tahu apa-apa, kan? Atau kau punya ide?”

“Tidak, tidak ada. Kupikir aku bisa minta pijat ke gadis Tionghoa itu barangkali bisa membantu jika aku memintanya agar melunak padakku. Dia belajar keahlian memijat di Thailand utara dan dia sedikit kasar, bukan … begitu kata orang-orang. Kau tahu kan, terutama ada sebagian diriku yang sama seperti dia, dari ras yang sama. Barangkali bisa sembuh setelah mendapat pijatan lembut… bagaimana menurutmu, Sayang?”

“Ya, aku tahu apa yang kau maksud dengan pijatan lembut. Kalau begitu, kenapa kau tidak meminta pamanmu untuk melakukannya? Kenapa memilih gadis muda?”

“Kau kan tahu kenapa. Aku tidak suka ada tangan pria menyentuh badanku. Aku sudah menjelaskan itu sebelumnya, tetapi baiklah, jika itu membuatmu kesal, aku tidak akan minta pijat.”

“Dengar, aku tidak melarangmu! Demi Tuhan, aku tidak mungkin menghentikanmu meski kau ingin pergi! Namun, seperti yang kau katakan, orang-orang mengatakan gadis itu agak kasar, dan dia mungkin akan memperburuk kesehatanmu, bukan memperbaikinya. Menurutku, akan lebih bijaksana untuk tidak pijat sampai kita mendengar penjelasan dari bibimu, itu saja.”

“Ya, OK, mungkin kau benar. Kau belum menjawab anak -anak ada di mana.”

“Aku tidak begitu yakin, kurasa sekarang waktunya mereka kembali… Mereka pergi bersama untuk mendatangi pesta ulang tahun atau semacamnya di akhir pekan.”

Keluarga Lee memiliki dua anak, putra dan putri. Mereka merasa beruntung karena akhirnya mendapatkan putra setelah berusaha selama sepuluh tahun. Sekarang anak mereka berumur dua puluh dan enam belas tahun, jadi Tuan dan Nyonya Lee sudah lama menyerah untuk berharap menambah anak lagi.

Mereka pun sudah berhenti berusaha sejak lama.

Putra dan putri keluarga Lee adalah anak-anak yang baik, hormat, dan patuh. Mereka membuat orang tua mereka bangga, atau setidaknya, apa yang orang tua mereka ketahui tentang mereka membuat orang tua mereka bangga, karena mereka sama seperti anak-anak yang baik: sembilan puluh persen baik, tetapi bisa berbuat jahat juga dan memiliki pikiran rahasia yang mereka tahu tidak akan disetujui oleh orang tua mereka.

Putra Tuan Lee, Den, atau Lee muda, baru menginjak usia dua puluh tahun dan sudah hampir dua tahun putus sekolah. Dia, seperti saudara perempuannya, memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, tetapi kenyataan mulai menyadarkannya bahwa ayahnya punya kehidupan yang sangat berat yang direncanakan untuk diwarisinya, yaitu bekerja sepanjang hidupnya, baik sebelum maupun sepulang sekolah. Akan tetapi, mereka toh masih ada waktu untuk sepak bola dan tenis meja sementara para gadis berlatih menari saat itu.